Review Short Course Pendidikan Lingkungan Hidup

Sesi foto bersama

Pada hari Sabtu-Minggu, tanggal 6-7 Maret 2021 Mapala STACIA menyelenggarakan kegiatan Short Course Pendidikan Lingkungan Hidup. Kegiatan tersebut berlangsung selama dua hari di sekretariat Mapala STACIA Student Center Universitas Muhammadiyah Jakarta, peserta kegiatan merupakan  anggota biasa Mapala STACIA UMJ. Kegiatan tersebut dilatarbelakangi oleh kegelisahan anak muda terhadap kerusakan lingkungan hidup yang semakin cepat terjadi, yang menyebabkan bencana ekologis akibat turunnya kualitas daya dukung lingkungan. Kegiatan Short Course Pendidikan Lingkungan Hidup merupakan sebuah upaya yang dilakukan untuk mengubah perilaku dan sikap anak muda bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan, wawasan, dan daya berpikir kritis terhadap isu lingkungan hidup demi keselamatan lingkungan hidup bagi generasi mendatang. Kegiatan ini  menghadirkan pemateri dari internal Mapala STACIA dan NGO antara lain Eksekutif Nasional WALHI, Ciliwung Institute dan FNKSDA. Adapun topik pembahasan kegiatan ini yaitu sebagai berikut:

Foto: Abdul Ghofar mempresentasikan materi pengantar etika lingkungan

Hari pertama (6/3/2021) pada sesi pertama diskusi dimulai dengan topik “Pengantar Etika Lingkungan” yang dipantik oleh Abdul Ghofar (Project Officer Perubahan Iklim WALHI), diskusi diawali mengenai sejarah awal etika lingkungan yang dimulai dari aksi gerakan pertama kali yang dilakukan oleh jutaan orang di Amerika Serikat untuk memperingati Hari Bumi pada tanggal 22 April 1970 berita tersebut termaktub dalam surat kabar The New York Times dengan judul berita “Millions Joint Earth Day Observances ACross The Nation”. Tentunya ada faktor yang mendorong etika dan cara pandang manusia terhadap lingkungan hidup, faktor yang pertama berawal dari sebuah sebuah buku yang berjudul “The Silent Spring” atau  musim semi yang hening karya Rachel Carson. Rachel Carson menulis buku tersebut ketika dunia sedang merayakan industri kimia setelah perang Dunia II. Pada saat itu negara negara yang terlibat dalam Perang Dunia II sedang terjebak dalam perang dingin, memperebutkan pengaruh antara Kapitalisme di Barat dan Komunisme di Timur. Di Barat Amerika Serikat sedang merayakan Kapitalismenya untuk menjadi negara adidaya Amerika Serikat harus meningkatkan produksi perikanan, industri, peternakan dan pertanian salah satu caranya dengan menggunakan pestisida sintetis. Hal inilah yang dikritik oleh Rachel Carson, ia menganggap penggunaan pestisida yang berlebihan menyebabkan kualitas lingkungan menurun. Ia mengukur kadar polutan dan zat kimia di sungai-sungai Alabama, di pesisir pantai Florida, dan mencatat kerusakan dan hilangnya mikroorganisme di dasar-dasar sungai, di dalam tanah yang membuat suhu udara dan ekosistem tak lagi seimbang. Faktor yang kedua yaitu teori Malthus tentang “Population Bomb” 1968. Malthus berpendapat bahwa bumi sudah over kapasitas dan jika manusia tetap bereproduksi bumi tidak akan mampu mencukupi kebutuhan manusia dan sumber daya alam akan semakin habis. Kemudian yang ketiga yaitu buku “Limit To Growth” 1972 mengenai batasan yang timbul akibat jumlah dan aktivitas manusia. Beberapa faktor tersebutlah melahirkan sebuah etika yang berkaitan dengan moral serta norma yang mengikat bagaimana cara manusia memperlakukan lingkungan hidup sebagaimana mestinya serta berkaitan dengan Intrinsic Value dan Instrumental Value. Etika Lingkungan terbagi menjadi beberapa cara pandang antara lain Antroposentrisme yaitu menganggap bahwa manusia menduduki puncak tertinggi dalam kesatuan ekosistem dan lebih mementingkan ego keinginan manusia dalam mencukupi kebutuhan hariannya tanpa mempertimbangkan kebutuhan makhluk hidup yang lainnya. Dalam teori antroposentrisme terbagi menjadi dua yaitu shallow ecology  berkaitan dengan upaya preventif yang dilakukan agar kebutuhan kehidupan manusia tetap dan deep ecology yaitu menganggap bahwa manusia sama seperti makhluk hidup yang lainnya. Biosentrisme adalah cara pandang yang menganggap bahwa manusia bertanggung jawab secara rasional atas keberlangsungan tempat tinggalnya sebagai bukti bahwa alam bukan hanya sebagai alat pemuasan kebutuhan manusia melainkan kesadaran moral manusia bagi lingkungan hidup yang berkelanjutan.

Foto: Umi Ma’rufah mendiskusikan peran perempuan dalam lingkungan hidup

Sesi kedua menyoal topik “Ekofemnisme dan Keadilan Gender” yang dipantik oleh Umi Ma’rufah (FNKSDA), diskusi ini menggali lebih dalam tentang keterkaitan peran perempuan dalam gerakan dan pelestarian lingkungan hidup.  Tak hanya itu sesi ini menjelaskan tentang perjuangan seorang perempuan aktivis lingkungan yang berasal dari India yaitu Vandana Shifa yang turut mengembangkan gagasan ekofeminisme yang berawal dari gerakan memeluk pohon di Chipko, India. Gagasan Vandana Shifa dituliskan dalam bukunya yang berjudul “Staying alive: Women, Ecology and Development dan Ecofeminism”. Feminitas sebagai the sustenance perspective yakni prinsip yang diperlukan dalam kehidupan bercirikan kedamaian, keselamatan, kasih dan kebersamaan. Shiva memperkenalkan pengetahuan kosmologi India, manusia dan alam (Purusha-prakriti) sebagai wujud dualisme dalam kesatuan. Keduanya merupakan komponen yang tidak terpisahkan di alam ini, baik didalam perempuan dan laki-laki. Untuk mengkritik atas persoalan ekologi Shiva menawarkan cara pandangnya sebagai jalan keluar. Yaitu manusia harus menghasilkan hanya yang diperlukannya untuk memenuhi kebutuhan fundamental manusia dan menolak untuk menghasilkan “komoditas dan uang dalam kuantitas yang tinggi dan semakin tinggi (upah atau keuntungan), manusia harus mengganti sistem demokrasi yang representatif dengan demokrasi yang partisipatif, manusia harus memandang air, udara, bumi, dan semua sumber daya alam sebagai milik komunitas dan bukannya milik perseorangan, manusia harus menyadari bahwa agar setiap orang berkecukupan, tidak seorang pun harus mendapatkan semuanya. Tak hanya itu sesi diskusi kali ini juga membahas terkait perjuangan para petani perempuan seperti yang terjadi di kendeng yang mempertahankan tanah pertaniannya sebagai sumber penghidupan dari ancaman kerusakan ekologis akibat pertambangan dan pabrik semen.

Foto: Wahyu A Perdana mendiskusikan cara pandang yang lebih detail terkait permasalah lingkungan

Sesi ketiga membahas topik “Ekologi Politik” yang dipantik oleh Wahyu A Perdana (Manajer Pangan, Air, dan Esensia Eksekutif Nasional WALHI), Ekologi Politik merupakan sebuah perangkat cara pandang untuk melihat lebih jauh dan detail terkait permasalahan lingkungan, ekologi politik berkaitan tentang hubungan kekuasaan dalam pengelolaan lahan dan lingkungan. Adapun perangkat dari ekologi politik antara lain lembaga formal dan informal, instrumen tata kelola, keadilan lingkungan, tertanam dalam sejarah dan budaya, distribusi biaya dan manfaat yang tidak merata. Dalam ekologi politik memandang bahwa kebijakan dari pemerintah yang tidak berpihak kepada keberlangsungan lingkungan hidup yang menyebabkan dampak dari kerusakan ekologis. Pada sesi kali ini peserta berdiskusi dan menuliskan permasalahan lingkungan yang terjadi di Indonesia, seperti karhutla, pertambangan, pencemaran, deforestasi dan degradasi lingkungan. Dalam konteks ekologi politik juga menjelaskan bagaimana proses hilangnya sumber-sumber kehidupan masyarakat akibat perampasan serta pengalihfungsian hutan menjadi hutan tanaman industri berskala luas dan perkebunan monokultur yang berakibat pada ketimpangan ekonomi dan kerusakan lingkungan hidup.

Foto: Abdul Barri Assyarif berdikusi dengan peserta mengenai gerakan sosial anak muda

Hari Kedua (7/3/2021) sesi keempat menyoal “Anak Muda Basic Cultural Gerakan Sosial Lingkungan Hidup” yang dipantik oleh Abdul Barri Assyarif ketua Mapala STACIA periode 2013-2014. Pokok pembahasan pada sesi ini yaitu mengetahui dan memahami peran penting anak muda dalam menjawab tantangan isu lingkungan hidup dimasa yang akan datang. Berfokus pada upaya penyadaran bahwa anak muda merupakan bagian dari aktor gerakan sosial (social movement) yang berupaya secara kolektif untuk mengejar kepentingan bersama melalui tindakan kolektif.  Gerakan sosial secara historis bertransformasi menjadi gerakan sosial baru yang secara segmentasi focus pada konteks yang non material. Gerakan sosial lingkungan hidup merupakan upaya yang dilakukan dengan segala cara tanpa kekerasan aksi jalanan, lobi politik, hingga pendidikan publik untuk melindungi sumber daya alam dan ekosistem. Aktor gerakan sosial khususnya Mahasiswa Pecinta Alam memiliki cara pandang yang kuat atas isu-isu lingkungan hidup dan mengamalkan nilai-nilai sebagai aktivis,relawan, akademisi dan kaum intelektual yang harus berada dalam garis depan dalam mempertahankan ruang hidup dan kelestarian alam dari ancaman penguasa dan perusak lingkungan hidup. Opsinya adalah dalam menekan laju krisis dan bencana akibat dampak dari pengrusakan lingkungan hidup yaitu perubahan cara pandang dan perilaku, perubahan paradigma dan kebijakan pembangunan, beralih ke industri bersih, dan aksi nyata.

Foto: Sudirman Asun menjelaskan dampak dari pulau reklamasi Jakarta terhadap aktivitas aliran sungai dan sumber penghidupan warga pesisir

Sesi kelima menyoal “Festival Banjir Upaya Pelestarian Sungai” yang dipantik oleh Sudirman Asun (Ciliwung Institute) diskusi pada kali ini mengambil studi kasus keterkaitan sungai ciliwung dan Festival Banjir Jakarta. Sesi ini bertujuan untuk lebih memahami peran dan fungsi sungai sebagai sumber kehidupan. Slogan “Jakarta Bebas Banjir” merupakan sebuah ilusi dan disinformasi yang menyebabkan kita tidak siaga dalam menghadapi banjir serta salah mengambil kebijakan dan solusi. Mengenai banjir sejak dahulu daratan Jakarta terbentuk oleh tanah aluvial atau endapan yang dibawa oleh sungai-sungai yang mengaliri Jakarta jadi pada titik kesimpulannya Jakarta memang bersahabat dengan banjir, namun beberapa kebijakan seperti betonisasi sungai yang bertujuan untuk membebaskan Jakarta dari banjir justru mempersempit diameter sempadan sungai dan menghilangkan ekosistem alami sungai. Keberadaan  urukan 17 Pulau Reklamasi yang menutup 13 muara sungai dan terlalu rapat dengan garis pantai juga  menghalangi aktivitas muara sungai mengeluarkan sedimen sungai dan merubah arus pantai dalam proses pencucian limbah dan sedimen. Beton bukan solusi banjir. Analogi beton sungai ini seperti kebiasan orang membuang sampah (not my backyard), yang penting sampah bersih dari hadapanku, gak penting sampah ini akan dibuang ke bantar gebang atau cipeucang provinsi lain. Beton adalah tabiat yang sama dengan orang yang membuang sampah, beban akan ditumpahkan ke wilayah hilir di bawahnya (contoh betonisasi bukit duri/kp pulo menyebabkan laju banjir lebih besar dan lebih cepat di kebon pala). Alternatif solusi permasalah tersebut yaitu dengan membuat program naturalisasi sungai serta memperbaiki tata ruang dan pemanfaatan ruang. Karena Jakarta adalah Ibukota maka model rekayasa Ciliwung haruslah ada pilihan yang terbaik dan mengamankan warga dan ketahanan ibukota. Banyak model yang bisa diaplikasikan. Sungai  Ciliwung akan menjadi parameter tolak ukur percontohan tata kelola sungai sungai di Indonesia.

Foto: Fadlik Al Iman menjelaskan sejarah dan nilai-nilai makna pecinta alam

Sesi keenam topik pembahasannya yaitu “Kompas Pecinta Alam” yang dipantik oleh Fadlik Al Iman (Klub Indonesia Hijau Regional Jakarta) diskusi ini menyoal tentang sejarah pecinta alam dan orientasi pecinta alam di masa akan datang. Berdirinya pecinta alam pertama yaitu Mapala UI didasari atas kegelisahan Soe Hok Gie dan sahabatnya Herman Lantang. Pada saat itu di Universitas Indonesia khususnya di Fakultas Sastra didominasi oleh organisasi ekstra kampus yang syarat akan kepentingan politik. Gie membentuk Mapala UI sebagai alternatif wadah dalam perjuangannya. Mapala dinilai Gie berada pada posisi yang netral tidak memiliki keberpihakan politik dan mempunyai nilai tawar dari lembaga-lembaga lainnya. Sukses terbesarnya pada saat itu Herman Lantang berhasil menjadi ketua senat Fakultas Sastra UI. Bagi Gie Pecinta alam ke gunung bukan karena menghindar dari carut marut politik. Tetapi pecinta alam ke gunung justru karena tidak percaya dengan slogan-slogan omong kosong dan hipokrisi. Dengan kata lain pecinta alam ke gunung sebagai bentuk yang melambangkan perlawanan. Ini selinier dengan kalimat yang diucapkannya Lebih baik diasingkan daripada menyerah pada kemunafikan.” Dan bagi Gie jika kita ingin melihat dan mengenal bangsa kita lebih dekat maka kita harus pergi berpetualang. Soe Hok Gie telah memberikan warisan yang cukup jelas jika kita orang baik kaum intelektual yang paham akan situasi politik saat ini penuh lumpur, artinya kita harus membersihkan lumpur itu bukan malah memberikannya. Selain itu Norman Edwin junior Gie di Mapala UI juga telah memberikan begitu banyak kisah inspiratif bagi anak muda masa kini khususnya anggota Mapala. Sosok yang dijuluki beruang gunung ini memberikan pesan bahwa alam merupakan sarana pendidikan bukan hanya untuk berpetualang.

Paling akhir Short Course Pendidikan Lingkungan Hidup Mapala STACIA UMJ ditutup dengan refleksi dari anggota. Refleksi tersebut bertujuan untuk memahami dan reorientasi nilai-nilai dari makna pecinta alam serta peran fungsi pecinta alam dalam pembangunan karakter bangsa, keberlanjutan lingkungan hidup yang adil dan lestari di masa depan.

(Oktavian Ardiansyah/STC.18349.RS)

Related Images: