Eksotisme Gunung Binaiya, Kehidupan Sosial Masyarakat Desa Kanike

Siapa yang tidak mengenal Gunung Binaiya, gunung ini merupakan gunung tertinggi di Kepulauan Maluku tepatnya berada wilayah Kabupaten Maluku Tengah, masuk kedalam  lingkup Taman Nasional Manusela. Dengan ketinggian 3.027 meter di atas permukaan laut (mdpl),Gunung Binaiya dipredikatkan kedalam jajaran seven summit puncak gunung tertinggi di Indonesia. Taman Nasional berada di pulau seram, pulau ini merupakan pulau terbesar kedua setelah pulau Halmahera di Kepulauan Maluku. Taman Nasional Manusela merupakan kawasan konsevasi yang berfungsi sebagai pengewatan keanekaragaman hayati, khususnya bagi flora endemic vegetasi gunung binaiya salah satunya yaitu tumbuhan pakis Binaiya (Chyatea Binaya), yang pesebaran habitatnya hanya berada di sekitar puncak binaiya. Tumbuhan pakis mempunyai peranan penting dalam ekosistem hutan dan manusia. Dalam ekosistem hutan tumbuhan pakis berperan dalam pembentukan humus dan melindungi tanah dari erosi, sedangkan dalam kehidupan masyarkat tumbuhan pakis dapat dimanfaatkan untuk sumber pangan, kerajinan tangan maupun bahan obat tradisional.

Akses untuk mendaki gunung binaiya dapat melalui dua jalur pendakian yaitu dari sisi selatan desa Piliana dan dari sisi utara yaitu Desa Kanike. Desa Kanike masuk dalam wilayah administratif Kecamatan Seram utara. Desa Kanike merupakan desa terakhir sebelum melakukan pendakian ke puncak binaiya,lewat sisi utaara, butuh waktu sekitar 2-3 hari perjalanan naik turun bukit dan melintasi beberapa sungai sebelum akhirnya sampai di Desa Kanikeh. Disini terdapat 54 rumah dan dihuni oleh 77 KK. Kehidupan sosial masyarakatnya Desa Kanikeh sangat menjujung tinggi nilai-nilai adat dan menerapkan prinsip hidup berdasarkan kearifan local yang telah diwariskan secara turun-temurun oleh nenek moyang mereka.

Contoh nyata ialah  sebelum melakukan pendakian biasanya masyarakat desa melakukan upacara ritual dengan menyembelih ayam sebagai bahan persebahan menghormati leluhurnya ini bertujuan agar para pendaaki atau pengunjung selalu diberikan keselamatan dan kelancaran dalam melakukan pendakian.

 

Ketika malam hari di Desa kanikeh pencahayaan sangatlah minim sebab Desa Kanikeh belum dialiri listrik oleh instansi pemerintah (PLN), solusinya ialah masyarakat Kanike menggunakan genset sebagai sumber listriknya. Disini juga  hanya terdapat satu sekolah dasar dengan jumlah tenaga pendidik yang minim hanya terdapat 1  kepala sekolah, 2 orang guru, dan 2 orang guru honorer tetapi hal ini tidak membuat patah semangat anak-anak disana untuk terus belajar dan mengembangkan potensi diri serta pengetahuannya.

Untuk mencukupi kebutuhan pangannya masyarakat Desa Kanikeh terbiasa mencari makan dengan berburu dan berladang, hasil buruan seperti rusa tak jarang mereka dapatkan untuk hasil berladang komoditas utama yang dihasilkan adalah umbi-umbian. Selain itu kesehariannya yaitu membuat kerajinan tangan yang disebut lopa-lopa (tas yang dibuat dari pelepah pohon sagu).

Kehidupan masyarakat desa Kanikeh juga menjujung tinggi nilai-nilai kebersamaan dan gotong royong,ketika bekerja bakti ketika raja atau wakilnya memukul lonceng maka secara inisiatif seluruh warga berkumpul dan menunggu arahan dari sang raja, ini merupakan salah satu ciri dari masyarakat komunal.

Lewat kesederhanaan kehidupan masyarakat Desa Kanike, kita dapat belajar bahwa keterbatasan yang ada bukan sebuah penghalang tetapi harus dimanfaatkan sebagai peluang untuk terus hidup dan berdedikasi untuk alam dan sesama manusia, tanpa menghilangkan identitas kebudayaan yang ada. Karena sejatinya turut sera aktif menjaga kelestarian alam serta segala macam kekayaan baik dalam bentuk mahluk hidup, benda mati, maupun hasil budaya masyarakat adalah kewajiban bagi kita semua.

Terimakasih  Kanike

Terimakasih Ambon

Dirgahayu Dari Beta Untuk Maluku.

Oktavian Ardiansyah/ STC.18349.RS

 

 

 

 

 

Related Images: